Sebab
Abul Aswad mengarang fan Nahwu. Diceritakan pada suatu malam Abul Aswad berada di atap rumahnya dan di sampingnya putrinya
sedang memandangi langit, bintang-bintang, dan keindahan kedap kedip cahaya
bintang diwaktu malam yang gelap.
Putrinya
berkata,” (مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ)Ayah ! Apa yang paling indah di
langit ?“.
“Ya semua
bintang di langit “, jawab sang ayah.
Abul Aswab
menduga pertanyaan putrinya adalah,” (مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ)yang artinya adalah Ayah ! Apa yang paling indah di langit
?“.
“ Ayah !
Maksudku bukan begitu. Yang aku maksudkan aku merasa kagum melihat indahnya
bintang-bintang di langit “, sanggah putrinya.
Mendengar
penjelasan anaknya yang tidak sama dengan apa yang dia ucapkan Abul Aswad
berkata,” Katakanlah ! (مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ)Alangkah indahnya langit “
Hati Abul
Aswad merasa resah mendengar susunan bahasa Arab putrinya yang tidak benar.
Paginya Abul Aswad pergi menuju rumah Sayyidina Ali – Semuga Allah
memulyakannya. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk Abul Aswad membuka
pembicaraan,” Wahai Amirul Mukminin !
Telah terjadi kesalahan bahasa pada anak-anak kita yaitu kesalahan yang
belum pernah kita ketahui sebelumnya “.
Kemudian
Abul Aswad menceritakan kisahnya saat duduk di atas atap rumahnya bersama
putrinya.
Mendengar
cerita Abul Aswad Amirul Mukminin Sayyidina Ali berkata bahwa terjadinya kesalahan
susunan bahasa yang telah terjadi diakibatkan campur baurnya orang Arab dan non
Arab.
Beberapa
hari kemudian Sayyidina Ali memerintahkan Abul Aswad agar menulis rumusan ilmu
Nahwu, Sayyidina Ali membeli kertas dan dia mendektekan pada Abul Aswad,”
Kalam ada tiga: isim, fi’il, dan huruf yang punya arti”, serta sejumlah bab
Ta’ajjub. Setelah selesai ditulis dia berkata kepada Abul Aswad,”
Contohlah seperti ini”. Karena perintah Sayyidina Ali ‘ Contohlah seperti
ini’ maka ilmu ini disebut dengan Ilmu Nahwu.
“Telitilah
susunan bahasa Arab itu dan tambahkanlah susunan bahasa yang terjadi pada
dirimu. Ketahuilah wahai Abul Aswad, bahwa macamnya isim itu ada tiga: Dhahir,
Mudlmar dan satunya bukan Dhahir dan bukan Mudlmar. Manusia
saling mengklaim lebih utama dalam mengetahui isim yang tidak Dhahir dan
tidak Mudlmar”,
saran Sayyidina Ali kepada Abul Aswad.
Abul Aswad
berkisah,” Lalu aku kumpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tatabahasa dan
aku sodorkan hasilnya kepada Sayyidina Ali. Diantaranya adalah huruf-huruf
nashab, ان, أن, ليت, لعل, كأنdan aku tidak menyebut لكن. Sayyidina Ali bertanya,” Kenapa kamu meninggalkan لكن ?”. Aku berkata,” Aku tidak menyangkanya termasuk huruf
nashab”. Dia berkata,” لكن itu termasuk huruf nashab.
Tambahkan kata itu !..”. Pernah Abul Aswad mendengar seseorang yang membaca,” اِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ “ dengan membaca jer kata وَرَسُوْلِهِ yang seharusnya dibaca nashab وَرَسُوْلََهُ. . Melihat hal
itu Abul Aswad mengarang bab ‘Ataf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar